RESISTENSI PADA SERANGGA



Resistensi pada serangga merupakan  kemampuan suatu populasi (serangga) yang terseleksi untuk tahan (tidak mati) terhadap perlakuan insektisida pada dosis lebih tinggi dari yang biasanya diperlakukan pada serangga yang rentan (susceptible). kemampuan ini akan diturunkan pada generasi selanjutnya.

Evolusi resistensi terhadap insektisida:
Speciation (evolusi suatu taxa baru) adalah suatu makroevolusi yang selalu barasosiasi dengan macromutasi (mutasi secara sistemik), yang diperkirakan terjadi menghasilkan perubahan-perubahan besar (saltation evolution by leaps and bounds). Pergantian frekuensi alel dalam suatu populasi dalam jangka waktu tertentu disebut microevolusi (akumulasi variasi dalam waktu tertentu). Suatu contoh paling dramatis dalam microevolusi ialah bagaimana serangga (organisme) jadi resisten terhadap pestisida. Resisten terhadap pestisida (bahan kimia sintetis organik) tidak unik hanya terjadi pada serangga. Bakteria bisa resisten terhadap aantibiotik, protozoa terhadap berbagai obat antimalaria, chickweed (gulma) terhadap 2,4-D, tikus terhadap berbagai bahan antikoagulan (warfarin, dll). Resisten berbagai nematoda terhadap zat fumigan tanah belum pernah terjadi, hal ini bisa demikian karena penggunaan ini baru-baru saja dilaksanakan dan mungkin hanya soal waktu saja sebelum resisten muncul. Resisten dengan demikian, kemungkinan sekali merupakan suatu keharusan (rule) dan bukan sesuatu yang diperkirakan.
Pada tahun 1908, serangga mula-mula diketahui resisten terhadap efek toksik insektisida, sewaktu suatu strain San Jose Scale (Aspidiotus perniciosus) resisten terhadap lime sulfur. Pada tahun 1916, California red scale ditemukan resisten terhadap HCN dan pada tahun 1917 codling moth ditemukan resisten terhadap lead arsenate. Resistensi insektisida baru mendapat perhatian secara ilmiah setelah PD II, hal ini terjadi setelah the newly developed "wonder insecticide" DDT gagal mengendalikan strain lalat rumah Musca domestica di Swedia dan Denmark pada tahun 1946, nyamuk Culex pipiens di Itali dan Aedes solicitans di Florida tahun 1947 dan kutu busuk Cimex lecturaius di Hawaii tahun 1947 dan banyak lagi. Dengan semakin banyaknya jenis-jenis insektisida ditemukan disertai semakin luasnya penggunaan insektisida tersebut, kasus resisten terhadap insektisida terus berkembang hampir secara linier.
Resisten terhadap insektisida diperkirakan berkembang dengan cara, sebagai suatu akibat seleksi alami dari preadaptive mutants yang mempunyai mekanisma detoksikasi genetis, target site insensitivity, atau cara survival lain di lingkungan yang ada insektisidanya, misalnya enzym DDT-ase yang mengkonversi DDT menjadi bentuk yang tidak toksik DDE atau acetylcholinesterase yang sudah berubah yang dengan demikian tidak dapat diinaktifkan dengan insektisida Organofosfat. Faktor-faktor genetis ini dapat berada pada tingkat yang sedikit sekali pada suatu populasi sebelum adanya perlakuan insektisida; misalnya, Anopheles gambiae di Nigeria Utara diketahui mempunyai gen heterozigot yang resisten terhadap dieldrin yang pada awalnya banyaknya hanya sekitar 0,4-6 % dalam suatu populasi. Seleksi intensif dengan dieldrin atau BHC untuk mengendalikan malaria secara residual telah menambah frekuensi gen yeng resisten sampai 90 % dalam waktu 1-3 tahun !
Kebanyakan kasus resisten yang dilaporkan adalah terhadap DDT atau cyclodienes. jenis ini yang paling lama telah dipakai. Biasanya resisten terhadap insektisida jenis organoklorin terjadi 10 tahun setelah insektisida dipergunakan untuk pertama kali, dan didapatnya resistensi pada suatu bentuk akan memfasilitasi terjadinya resistensi bentuk lain. Pada tahun 1976, hanya ada empat kasus resisten sintetik piretroid yang dilaporkan.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment